Senin, 20 Agustus 2012


PERSEKOLAHAN SEBUAH PENDIDIKAN DILMATIS
Luki Fidiantoro

Selama beberapa generasi, kita telah berusaha menajadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik dengan cara menyediakan makin banyak persekolahan. Tapi sejauh ini kandas. Yang kita dapatkan dari sana hanya pelajaran bahwa, memaksa semua anak untuk memanjat tangga pendidikan yang tak berujung dan takkan meningkatkan mutu” [1]. Hal tersebut adalah pernyataan dari pemerhati pendidikan yaitu Ivan illich, seorang Pastor dari Austria yang kecewa terhadap sekolah-sekolah saat ini. Menurutnya jua bahwa pengajaran yang diwajibkan sekolah hanya membunuh banyak orang untuk belajar secara mandiri dan menjadikan pengetahuan sebagai komoditas yang dikemas serta hal langka dipasaran. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
            Untuk melihat wajah Indonesia marilah kita lihat komentar para tokoh pemerhati pendidikan. Prof. Ahmad Syafi’I Ma’arif pernah berkomentar bahwa “pendidikan di Indonesia sudah sangat kronis. Baik kronis dari segi parahnya penyakit yang di derita, maupun kronis dari segi lamanya penanganan, yang seperti sudah tidak memberi harapan lagi untuk sembuh. Wajah pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari harapan, bahkan jauh tertinggal dengan negara-negara lain”[2].
Untuk melihat benar tidaknya pernyataan seorang tokoh nasionalis tadi,  maka kita bisa lihat hasil survey dari lembaga-lembaga kredibel tentang pendidikan di Indonesia. Menurut data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke- 105 (1998), dan ke-109 (1999)[3].
Tidak jauh beda dengan data diatas, laporan The Internasional Baccalaureate Organization (IBO) – yaitu lembaga yang didirikan  tahun 1956, berpusat di Switzerland (administrasi) dan Inggris (riset, kurikulum, dan asesmen) ternyata berkesimpulan bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan. Menurut IBO pada tahun 2003, dari 146.052 SD di Indonesia, ternyata hanya delapan sekolah saja yang dapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program(PYP).  Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam Kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP)[4].
Senada dengan Prof. Syafi’I ma’arif, Dody Heriawan Priatmoko memberikan penilaian yang lebih terperinci, menurutnya paling tidak ada 3  permasalahan pendidikan yang saat ini tengah merundung negeri Indonesia, yaitu :
1.      Kurangnya pemerataaan kesempatan pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Dirjen Binbaga Departemen Agama menunjukkan Angka Partisipasi murni (APM) untuk anak usia SD hanya mencapai 94,4% (28,3 juta sisiwa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. APM untuk pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54,8% (9.4 juta siswa). Sementara itu layanan PAUD masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan SDM secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatas maslah ketidakmerataan tersebut.
2.      Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan. hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Menurut data Balitbang Depdiknas, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki ketrampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan sendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap ketrampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
3.      Rendahnya mutu pendidikan. Indikator rendahnya mutu pendidikan Nasional dapat dilihat pada presasi siswa. Dalam skala internasional, menururt Laporan Bank Dunia (Greaney,1992) studi IEA (Internasional Association for The Evaluation of Educational Achevement) di Asia timur menunjukkan bahwa ketrampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada tingkat terndah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD:75,5 (hongkong), 74,0 (singapura), 65,1 ( Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit seklai menjawab soal-soal yang berbentuk uraian yangmemerlukan penalanran. Hal ini menunjukkan kemungkinan karena mereka terbisaa menghafal dan mengerjakan soal-soal pilihan ganda. Selain itu , Hasil Study The Third International Mathematic and Science Study Repeat_Timss_R, 1999 (IEA, 1999)memperlihatkan bahwa diantara 38 negara peserta , prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berda pada urutan ke-32 untuk IPA , ke-34 untuk matematika.
Lebih mengerikan lagi survey dari lulusan perguruan tinggi di Indonesia semakin banyak yang menganggur. Tahun 2000 jumlah penganggur sarjana lulusan universitas 277.000 orang (akademi: 184.000), tahun 2001: 289.000 (252.000), 2002: 270.000 (250.000), dan 2003: 245.000 (200.000), 2004: 348.000 (237.000), dan 2005: 385.418 (322.836). Lebih dramatis lagi, data BPS terbaru yang disiarkan Kompas (Kompas 22/8/2008) menyebutkan bahwa hingga Februari 2008 terdapat tak kurang dari 4.516.100 penganggur terdidik, atau lebih dari 50% jumlah total penganggur yang mencapai 9.427.600
Lalu apakah makna pendidikan sekarang?. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, 1991:232, Pendidikan berasal dari kata "didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendidikan sudah tidak sejalan dengan persekolahan? Apakah ada lembaga alternative yang lebih layak dari persekolahan untuk pendidikan?
"Tak kurang dua belas tahun waktu diselesaikan untuk bersekolah. Masa yang relatif panjang dan menjemukan, jika sekedar mengisinya dengan duduk, mencatat, sesekali bermain dan yang penting mendengarkan guru ceramah di depan meja kelas. Lewat sekolah orang bisa meraih jabatan sekaligus mendapat cemooh. Ringkasnya sekolah mampu mencetak manusia menjadi pejabat tapi juga penjahat. Masih pantaskah sekolah untuk mengakui peran tunggalnya dalam mencerdaskan seseorang"[5].
Adolf Hitler yang sangat kejam dahulunya adalah murid yang rajin, kalau ulangan tak pernah curang dan hampir selalu mendapat nilai A. Dia senang menggambar, tak banyak bicara, tak pernah bikin ulah. Satu-satunya yang menjadi keluhan para gurunya adalah dia terlalu berbakat menjadi pelamun dan pemimpi. Hampir seluruh orang khawatir kalau-kalu ia menjadi penyair. Namun orang-orang menjadi lega ketika Adolf Hitler memilih menjadi tentara. Namun ternyata dikemudian hari dunia ternganga menghadapi kenytaan Adolf yang sangat berbeda: dan banyak yangmemilih lebik baik ia menjadi penyair yang berpuisi jelek daripada pemimpi bersenjata. Yang menjadi pertanyaan seberapa andil para guru Adolf? Bukankah pendidikan khususnya persekolahan bisa dipakai sebagai jimat untuk meramal masa depan si terdidik?[6]
Lembaga pendidikan yang dalam arti luas mencakup masyarakat dan segala bentuk kesosialan, selamanya berusaha membuat rute yang pasti, atau setidaknya diniatkan agar pasti hingga rancangan masa depan tiap murid agak terbayang. Sama-sama tak lulus SMU, Henry Ford menjadi juragan mobil, Alpacino mendapat Oscar, Frank Sinatra menyanyi sampai tua, dan Tito menjadi bapak Yugoslavia[7]. Lalu bagaimana dengan lulusan SMU di Indonesia? Mari kita coba renungkan bersama.
Agar dapat mencermati segala pilihan secara jernih, kita harus membedakan  antara pendidikan dengan persekolahan. Artinya kita harus memisahkan niat kemanusiaan seorang guru dan murid dengan niat persekolahan (bukan berarti gedung tapi lembaga) didirikan. Selama ini dalam masyarakat yang terbangun adalah pemikiran bahwa individu tak bisa menyiapkan diri untuk hidup kecuali lewat persekolahan. Apa yang dipelajari di luar sekolah tak layak diketahui yang berarti kecil nilainya atau sama sekali tidak bernilai. Dari sini kita melihat bahwa pemikiran diatas menerjemahkan belajar disekolah menjadi sebuah komoditas, dimana sekolah memonopoli pasar. Tak jadi soal apakah kurikulumnya dirancang untuk menanamkan prinsip-prinsip fasisme, liberlisme, Sosialisme, atau isme-isme yang lain[8].
Jika memang tetap sekolah yang akan dijadikan satu-satunya alat untuk mencerdaskan seseorang, maka sistem pendidikan yang terjadi harus diubah. Upaya memperbaiki pendidikan (khususnya pendidikan dasar) di Indonesia kiranya perlu mempertimbangkan prinsip- prinsip pokok yang melandasi terbentuknya sistem pendidikan nasional. Ketiga prinsip dasar tersebut adalah pemerataan, kemandirian dan integrasi. Bagaimanapun juga jika sistemnya masih sama paling tidak kita bisa lehat gambaran tentang produk-produk sekolah saat ini, dimana orang yang melakukan korupsi malah menimpa orang-orang yang berpendidikan tinggi bahkan ilmunya sangat top.
Pemerataan pendidikan bisa dikatakan sebagai solusi. Untuk solusi alternative ini sudah tidak menjadi permasalahan. Sedikit demi sedikit seklah mulai terbangun walupun belum mencukupi semua. Akan tetapi permasalahan dalam akses pemerataan bukan hanya bangunan sekolah, akan tetapi akses keterjangkauannya baik termasuk di dalamnya keterjangkuannya biayanya. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pendidikan membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Jadi banyak anak yang putus sekolah bukan karena niatnya, tapi keadaan yang menyudutkannya untuk tidak meneruskan.Subsidi saat ini masih dianggap kurang karena masih terlihat anak-anak yang bekerja untuk membantu orang tuanya.
Untuk solusi selanjutnya adalah kemandirian. Ada kata-kata bijak untuk menggambarkan solusi ini yaitu “ Menyuruh anak belajar berhitung memang lebih penting, akan tetapi lebih penting lagi menyuruh anak-anak untuk memperhitungkan jlan hidupnya”. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sekolah kita hanya mengajarkan sebatas “tau’, bukan pada tahap ‘mau’ apalagi ‘mampu’. Misalnya saja pelajaran bahasa Inggris. Rata-rata sekolah di Indonesia tidak mempraktikkan bahasa tersebut, sehingga ketika lulus pun tidak menghasilkan apa-apa. Sejak SD sampai SMA saat ini sudah dikenalkan dengan bahasa tersebut, akan tetapi setelah lulus pun kita tidak bisa berbicara dengan lancer menggunakan ahasa Inggris. Dari situ ada hikmah yang bisa diambil “praktik lebih penting dari teori”. Soekarno bisa lancer bicara Belanda, H.Agus Salim bisa lancar tiga bahasa, walau padamasa itu akses belajar sangat sulit. Secara filoofis tanggungjawab guru yang menmpatkan diri sebagai teman dialog siswa lebih besar, dari pada guru yang memindahkan informasi yang diingat siswa[9].
Kita tidak bisa lagi menerapkan system pendidikan yang mirip bank. Pendidikan Itu harus membebaskan karena manusia adalah makhluk independen (memiliki naluri, kesadaran, keterbatasan), serta fitrahnya manusia adalah sebagai subjek bukan objek. Objektivitas pada pengertian si tertindas bisa jadi subyektifitas si penindas, begitu juga sebaliknya. "kaum Tertindas" harus memerdekakan dan membebaskan diri mereka sendiri dari penindasan yang tidak manusiawi sekaligus membebaskan kaum penindas dari penjara hati. Pendidikan sering kali mirip dengan model bank. Depositor dan investor nya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyrakatan. Deposito berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan, dan anak didik sebagai bejana kosong (buku tabungan). Pendidikan gaya bank dapat dilihat seperti :
a. Guru mengajar, murid Belajar (tidak mengetahui apa-apa)
b. Guru tahu segalanya, sedangkan murid tidak tau sama sekali.
c. Guru berpikir, murid dipikirkan.
d. Guru bicara, murid mendengarkan.
e. Guru mengatur, murid diatur.
f. Guu memilih dan memaksa , murid menurut.
Selanjutanya adalah integrasi atau penyatuan, yaitu melihat apa yang dibutuhkan di dunia kerja dengan kurikulum sekolah. Tidak bisadipungkiri lagi bahwa saat ini banyak yang yakin lagi, dengan bersekolah akan mudah mendapat pekerjaan. Karena ketika anak mereka disekolahkan malah menjadi tidak bisa apa-apa entah karena memang ilmunya tidak diterpkan atau kah yang diajarkan dan dipelajari tidak sama dengan kenyataanya.
Integrasi ini bisa dilakukan pada kurikulum tersembunyi. Selain itu integrasi juga bisa dimasukkan dalam penilaian selain pengetahuan, maka perilaku dan keterampilan bisa menjadi indicator untuk kenaikan kelas. Sudah sangat jarang yang penulis lihat sekarang bahwa disekolah tidak ada yang tidak naik kelas saat terima raport, akan tetapi ketika penulis bersekolah dulu hampir selalu ada. Akan tetapi gambaran berbeda diperlihatkan saat ujian kelulusan di mana sangat sedikit yang tidak lulus dalam Ujian Akhir Nasional. Tapi yang menjadi pertanyaan kenapa setelah berhadapan dengan dunia nyata malah tidak bisa memperlihatkan ilmunya. Lulusan perguruan tinggi juga hampir sama saja.
Bukankah kita sudah diajarkan membaca dan menulis, tetapi kenapa karya buku anak negeri masih sangat sedikit? Buktinya sampai saat ini jumlah buku baru yang diterbitkan secara nasional hanya 0,00009 persen dari total penduduk. Artinya, hanya sembilan judul buku baru untuk setiap sejuta penduduk. Padahal rata-rata negara berkembang mencapai 55 persen per satu juta penduduk. Sedangkan negara maju memiliki rata-rata 513 judul buku per satu juta penduduk (Daniel Dhakidae dalam Agus M. Irkham, Kompas, 17-2-2006). Jepang yang terkenal dengan kepeduliannya akan karya tulis ilmiah, tidak kurang dari 100.000 judul buku per tahun berhasil diterbitkan. Sedangkan India yang notabene negara sedang berkembang berhasil menerbitkan setidaknya 60.000 judul per tahun. Jika solusi-solusi tadi bukan hanya sebatas awing-awang bahkan bisa diterapkan paling tidak bisa membuat pendidikan kita lebih maju. Sebagai penutup tulisan ini saya kutip kata Romo Mangun, “memang guru-guru kami adalah seorang belanda, akan tetapi guru kami sangat konsisten, yang putih-itu putih, yang hitam-itu hitam, tidak seperti kebanyakan para pendidik saat ini”.
            Sumber-sumber Pustaka :
Ivan illich “alternative Schooling. Dalam Education Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .2006.

Dwi condro Triono. Makalah dengan judul Pendidikan Di Indonesia. hlm:2

M.Shidiq Al-Jawi. Makalah Pendidikan di Indonesia : Maasalah dan Solusinya. 2006, hlm :1

Paulo Freire,dkk. Education Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .2006. hlm viii

Paulo Freire. 1999. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebsan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.. hlm : 103            


Daniel Dhakidae dalam Agus M. Irkham, Kompas, 17-2-2006


[1] .Ivan illich “alternative Schooling. Dalam Education Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .2006. hlm : 517

[2] . Dwi condro Triono. Makalah dengan judul Pendidikan Di Indonesia. hlm:2

[3] . M.Shidiq Al-Jawi. Makalah Pendidikan di Indonesia : Maasalah dan Solusinya. 2006, hlm :1
[4]. Ibid. hlm 2
[5] . Ameliasari Tauresia Kesuma, SE. Sistem Pendidikan Indonesia Memprihatinkan. http://re-searchengines.com/0806ameliasari.html. diakses 19 Mei 2011.

[6] . Sebuah pengantar Dalam Education Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .2006. hlm viii

[7]. Ibid. hlm ix
[8]. Ivan illich Dalam Education Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .2006. hlm : 517
[9]. Paulo Freire. 1999. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebsan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.. hlm : 103        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar