PERSEKOLAHAN SEBUAH PENDIDIKAN DILMATIS
Luki Fidiantoro
“Selama beberapa generasi, kita
telah berusaha menajadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik dengan cara
menyediakan makin banyak persekolahan. Tapi sejauh ini kandas. Yang kita
dapatkan dari sana
hanya pelajaran bahwa, memaksa semua anak untuk memanjat tangga pendidikan yang
tak berujung dan takkan meningkatkan mutu” [1].
Hal tersebut adalah pernyataan dari pemerhati pendidikan yaitu Ivan illich,
seorang Pastor dari Austria
yang kecewa terhadap sekolah-sekolah saat ini. Menurutnya jua bahwa pengajaran
yang diwajibkan sekolah hanya membunuh banyak orang untuk belajar secara
mandiri dan menjadikan pengetahuan sebagai komoditas yang dikemas serta hal
langka dipasaran. Lalu bagaimana dengan Indonesia ?
Untuk melihat wajah Indonesia
marilah kita lihat komentar para tokoh pemerhati pendidikan. Prof. Ahmad
Syafi’I Ma’arif pernah berkomentar bahwa “pendidikan
di Indonesia
sudah sangat kronis. Baik kronis dari segi parahnya penyakit yang di derita,
maupun kronis dari segi lamanya penanganan, yang seperti sudah tidak memberi
harapan lagi untuk sembuh. Wajah pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari
harapan, bahkan jauh tertinggal dengan negara-negara lain”[2].
Untuk melihat benar tidaknya pernyataan seorang tokoh nasionalis
tadi, maka kita bisa lihat hasil survey
dari lembaga-lembaga kredibel tentang pendidikan di Indonesia . Menurut data UNESCO
(2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index),
yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan
penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia
Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102
(1996), ke-99 (1997), ke- 105 (1998), dan ke-109 (1999)[3].
Tidak jauh beda dengan data diatas, laporan The Internasional
Baccalaureate Organization (IBO) – yaitu lembaga yang didirikan tahun 1956, berpusat di Switzerland
(administrasi) dan Inggris (riset, kurikulum, dan asesmen) ternyata
berkesimpulan bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan. Menurut
IBO pada tahun 2003, dari 146.052 SD di Indonesia, ternyata hanya delapan
sekolah saja yang dapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years
Program(PYP). Dari 20.918 SMP di
Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan
dunia dalam Kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA
ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The
Diploma Program (DP)[4].
Senada dengan Prof. Syafi’I ma’arif, Dody Heriawan Priatmoko memberikan
penilaian yang lebih terperinci, menurutnya paling tidak ada 3 permasalahan pendidikan yang saat ini tengah
merundung negeri Indonesia, yaitu :
1.
Kurangnya pemerataaan kesempatan pendidikan. Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat sekolah Dasar. Data Balitbang
Departemen Pendidikan Nasional dan Dirjen Binbaga Departemen Agama menunjukkan
Angka Partisipasi murni (APM) untuk anak usia SD hanya mencapai 94,4% (28,3
juta sisiwa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. APM untuk pendidikan
di SLTP masih rendah yaitu 54,8% (9.4 juta siswa). Sementara itu layanan PAUD
masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan SDM secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan
kebijakan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatas maslah
ketidakmerataan tersebut.
2.
Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan
kebutuhan. hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur.
Menurut data Balitbang Depdiknas, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus
sekolah dan tidak memiliki ketrampilan hidup sehingga menimbulkan masalah
ketenagakerjaan sendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan
kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional
terhadap ketrampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
3.
Rendahnya mutu pendidikan. Indikator rendahnya mutu
pendidikan Nasional dapat dilihat pada presasi siswa. Dalam skala
internasional, menururt Laporan Bank Dunia (Greaney,1992) studi IEA
(Internasional Association for The Evaluation of Educational Achevement) di Asia
timur menunjukkan bahwa ketrampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada
tingkat terndah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD:75,5 (hongkong),
74,0 (singapura), 65,1 ( Thailand ),
52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia ).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu
menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit seklai menjawab
soal-soal yang berbentuk uraian yangmemerlukan penalanran. Hal ini menunjukkan
kemungkinan karena mereka terbisaa menghafal dan mengerjakan soal-soal pilihan
ganda. Selain itu , Hasil Study The Third International Mathematic and
Science Study Repeat_Timss_R, 1999 (IEA, 1999)memperlihatkan bahwa diantara
38 negara peserta , prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berda pada urutan
ke-32 untuk IPA , ke-34 untuk matematika.
Lebih
mengerikan lagi survey dari lulusan perguruan tinggi di Indonesia semakin banyak yang
menganggur. Tahun 2000 jumlah penganggur sarjana lulusan
universitas 277.000 orang (akademi: 184.000), tahun 2001: 289.000 (252.000),
2002: 270.000 (250.000), dan 2003: 245.000 (200.000), 2004: 348.000 (237.000),
dan 2005: 385.418 (322.836). Lebih dramatis lagi, data BPS terbaru yang disiarkan
Kompas (Kompas 22/8/2008) menyebutkan bahwa hingga Februari 2008 terdapat tak
kurang dari 4.516.100 penganggur terdidik, atau lebih dari 50% jumlah total
penganggur yang mencapai 9.427.600
Lalu apakah makna pendidikan
sekarang?. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, 1991:232, Pendidikan berasal dari kata "didik",
Lalu kata ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik"
artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan
diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendidikan sudah tidak sejalan
dengan persekolahan? Apakah ada lembaga alternative yang lebih layak dari
persekolahan untuk pendidikan?
"Tak
kurang dua belas tahun waktu diselesaikan untuk bersekolah. Masa yang relatif
panjang dan menjemukan, jika sekedar mengisinya dengan duduk, mencatat,
sesekali bermain dan yang penting mendengarkan guru ceramah di depan meja
kelas. Lewat sekolah orang bisa meraih jabatan sekaligus mendapat cemooh. Ringkasnya
sekolah mampu mencetak manusia menjadi pejabat tapi juga penjahat. Masih
pantaskah sekolah untuk mengakui peran tunggalnya dalam mencerdaskan
seseorang"[5].
Adolf Hitler yang sangat kejam dahulunya
adalah murid yang rajin, kalau ulangan tak pernah curang dan hampir selalu
mendapat nilai A. Dia senang menggambar, tak banyak bicara, tak pernah bikin
ulah. Satu-satunya yang menjadi keluhan para gurunya adalah dia terlalu
berbakat menjadi pelamun dan pemimpi. Hampir seluruh orang khawatir kalau-kalu
ia menjadi penyair. Namun orang-orang menjadi lega ketika Adolf Hitler memilih
menjadi tentara. Namun ternyata dikemudian hari dunia ternganga menghadapi
kenytaan Adolf yang sangat berbeda: dan banyak yangmemilih lebik baik ia
menjadi penyair yang berpuisi jelek daripada pemimpi bersenjata. Yang menjadi
pertanyaan seberapa andil para guru Adolf? Bukankah pendidikan khususnya
persekolahan bisa dipakai sebagai jimat untuk meramal masa depan si terdidik?[6]
Lembaga pendidikan
yang dalam arti luas mencakup masyarakat dan segala bentuk kesosialan,
selamanya berusaha membuat rute yang pasti, atau setidaknya diniatkan agar
pasti hingga rancangan masa depan tiap murid agak terbayang. Sama-sama tak
lulus SMU, Henry Ford menjadi juragan mobil, Alpacino mendapat Oscar, Frank
Sinatra menyanyi sampai tua, dan Tito menjadi bapak Yugoslavia [7].
Lalu bagaimana dengan lulusan SMU di Indonesia? Mari kita coba renungkan
bersama.
Agar dapat mencermati
segala pilihan secara jernih, kita harus membedakan antara pendidikan dengan persekolahan.
Artinya kita harus memisahkan niat kemanusiaan seorang guru dan murid dengan niat
persekolahan (bukan berarti gedung tapi lembaga) didirikan. Selama ini dalam
masyarakat yang terbangun adalah pemikiran bahwa individu tak bisa menyiapkan
diri untuk hidup kecuali lewat persekolahan. Apa yang dipelajari di luar
sekolah tak layak diketahui yang berarti kecil nilainya atau sama sekali tidak
bernilai. Dari sini kita melihat bahwa pemikiran diatas menerjemahkan belajar
disekolah menjadi sebuah komoditas, dimana sekolah memonopoli pasar. Tak jadi
soal apakah kurikulumnya dirancang untuk menanamkan prinsip-prinsip fasisme,
liberlisme, Sosialisme, atau isme-isme yang lain[8].
Jika memang tetap
sekolah yang akan dijadikan satu-satunya alat untuk mencerdaskan seseorang,
maka sistem pendidikan yang terjadi harus diubah. Upaya memperbaiki
pendidikan (khususnya pendidikan dasar) di Indonesia kiranya perlu
mempertimbangkan prinsip- prinsip pokok yang melandasi terbentuknya sistem
pendidikan nasional. Ketiga prinsip dasar tersebut adalah pemerataan,
kemandirian dan integrasi. Bagaimanapun juga jika sistemnya masih sama paling
tidak kita bisa lehat gambaran tentang produk-produk sekolah saat ini, dimana
orang yang melakukan korupsi malah menimpa orang-orang yang berpendidikan
tinggi bahkan ilmunya sangat top.
Pemerataan
pendidikan bisa dikatakan sebagai solusi. Untuk solusi alternative ini sudah
tidak menjadi permasalahan. Sedikit demi sedikit seklah mulai terbangun walupun
belum mencukupi semua. Akan tetapi permasalahan dalam akses pemerataan bukan
hanya bangunan sekolah, akan tetapi akses keterjangkauannya baik termasuk di
dalamnya keterjangkuannya biayanya. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pendidikan
membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Jadi banyak anak yang putus sekolah bukan
karena niatnya, tapi keadaan yang menyudutkannya untuk tidak meneruskan.Subsidi
saat ini masih dianggap kurang karena masih terlihat anak-anak yang bekerja
untuk membantu orang tuanya.
Untuk
solusi selanjutnya adalah kemandirian. Ada
kata-kata bijak untuk menggambarkan solusi ini yaitu “ Menyuruh anak belajar berhitung memang lebih penting, akan tetapi
lebih penting lagi menyuruh anak-anak untuk memperhitungkan jlan hidupnya”.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sekolah kita hanya mengajarkan sebatas “tau’,
bukan pada tahap ‘mau’ apalagi ‘mampu’. Misalnya saja pelajaran bahasa Inggris.
Rata-rata sekolah di Indonesia
tidak mempraktikkan bahasa tersebut, sehingga ketika lulus pun tidak
menghasilkan apa-apa. Sejak
SD sampai SMA saat ini sudah
dikenalkan dengan bahasa tersebut, akan tetapi setelah lulus pun kita tidak bisa
berbicara dengan lancer menggunakan ahasa Inggris. Dari situ ada hikmah yang bisa
diambil “praktik lebih penting dari teori”. Soekarno bisa lancer bicara
Belanda, H.Agus Salim bisa lancar tiga bahasa, walau padamasa itu akses belajar
sangat sulit. Secara filoofis tanggungjawab guru yang menmpatkan diri sebagai
teman dialog siswa lebih besar, dari pada guru yang memindahkan informasi yang
diingat siswa[9].
Kita tidak bisa lagi menerapkan system pendidikan yang mirip
bank. Pendidikan Itu harus membebaskan karena manusia adalah makhluk independen
(memiliki naluri, kesadaran, keterbatasan), serta fitrahnya manusia adalah
sebagai subjek bukan objek. Objektivitas pada pengertian si tertindas bisa jadi
subyektifitas si penindas, begitu juga sebaliknya. "kaum Tertindas"
harus memerdekakan dan membebaskan diri mereka sendiri dari penindasan yang
tidak manusiawi sekaligus membebaskan kaum penindas dari penjara hati.
Pendidikan sering kali mirip dengan model bank. Depositor dan investor nya
adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyrakatan. Deposito berupa
ilmu pengetahuan yang diajarkan, dan anak didik sebagai bejana kosong (buku
tabungan). Pendidikan gaya
bank dapat dilihat seperti :
a.
Guru mengajar, murid Belajar (tidak mengetahui apa-apa)
b.
Guru tahu segalanya, sedangkan murid tidak tau sama sekali.
c.
Guru berpikir, murid dipikirkan.
d.
Guru bicara, murid mendengarkan.
e.
Guru mengatur, murid diatur.
f.
Guu memilih dan memaksa , murid menurut.
Selanjutanya adalah integrasi atau penyatuan, yaitu melihat
apa yang dibutuhkan di dunia kerja dengan kurikulum sekolah. Tidak
bisadipungkiri lagi bahwa saat ini banyak yang yakin lagi, dengan bersekolah
akan mudah mendapat pekerjaan. Karena ketika anak mereka disekolahkan malah
menjadi tidak bisa apa-apa entah karena memang ilmunya tidak diterpkan atau kah
yang diajarkan dan dipelajari tidak sama dengan kenyataanya.
Integrasi ini bisa dilakukan pada kurikulum tersembunyi.
Selain itu integrasi juga bisa dimasukkan dalam penilaian selain pengetahuan,
maka perilaku dan keterampilan bisa menjadi indicator untuk kenaikan kelas.
Sudah sangat jarang yang penulis lihat sekarang bahwa disekolah tidak ada yang
tidak naik kelas saat terima raport, akan tetapi ketika penulis bersekolah dulu
hampir selalu ada. Akan tetapi gambaran berbeda diperlihatkan saat ujian
kelulusan di mana sangat sedikit yang tidak lulus dalam Ujian Akhir Nasional.
Tapi yang menjadi pertanyaan kenapa setelah berhadapan dengan dunia nyata malah
tidak bisa memperlihatkan ilmunya. Lulusan perguruan tinggi juga hampir sama
saja.
Bukankah kita sudah diajarkan membaca dan menulis, tetapi
kenapa karya buku anak negeri masih sangat sedikit? Buktinya sampai saat ini
jumlah buku baru yang diterbitkan secara nasional hanya 0,00009 persen dari
total penduduk. Artinya, hanya sembilan judul buku baru untuk setiap sejuta
penduduk. Padahal rata-rata negara berkembang mencapai 55 persen per satu juta
penduduk. Sedangkan negara maju memiliki rata-rata 513 judul buku per satu juta
penduduk (Daniel Dhakidae dalam Agus M. Irkham, Kompas, 17-2-2006 ). Jepang yang terkenal
dengan kepeduliannya akan karya tulis ilmiah, tidak kurang dari 100.000 judul
buku per tahun berhasil diterbitkan. Sedangkan India yang notabene negara sedang
berkembang berhasil menerbitkan setidaknya 60.000 judul per tahun. Jika
solusi-solusi tadi bukan hanya sebatas awing-awang bahkan bisa diterapkan
paling tidak bisa membuat pendidikan kita lebih maju. Sebagai penutup tulisan
ini saya kutip kata Romo Mangun, “memang guru-guru kami adalah seorang belanda,
akan tetapi guru kami sangat konsisten, yang putih-itu putih, yang hitam-itu
hitam, tidak seperti kebanyakan para pendidik saat ini”.
Sumber-sumber Pustaka :
Ivan illich “alternative
Schooling. Dalam Education Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar .2006.
Dwi condro Triono. Makalah
dengan judul Pendidikan Di Indonesia. hlm:2
M.Shidiq Al-Jawi. Makalah Pendidikan di Indonesia :
Maasalah dan Solusinya. 2006, hlm :1
Paulo Freire,dkk. Education
Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar .2006. hlm viii
Paulo Freire. 1999. Politik
Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebsan. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.. hlm : 103
Ameliasari
Tauresia Kesuma, SE. Sistem Pendidikan Indonesia Memprihatinkan. http://re-searchengines.com/0806ameliasari.html.
diakses 19 Mei 2011.
Daniel Dhakidae dalam Agus M.
Irkham, Kompas, 17-2-2006
[1]
.Ivan illich “alternative Schooling. Dalam Education Methode diterjemahkan Omi
Intan Naomi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
.2006. hlm : 517
[2] . Dwi condro Triono. Makalah dengan judul Pendidikan Di
Indonesia. hlm:2
[3] .
M.Shidiq Al-Jawi. Makalah Pendidikan di Indonesia : Maasalah dan Solusinya.
2006, hlm :1
[4]. Ibid. hlm 2
[5] . Ameliasari Tauresia Kesuma, SE. Sistem
Pendidikan Indonesia
Memprihatinkan. http://re-searchengines.com/0806ameliasari.html.
diakses 19 Mei 2011.
[6] .
Sebuah pengantar Dalam Education Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar .2006. hlm viii
[7]. Ibid. hlm ix
[8].
Ivan illich Dalam Education Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar .2006. hlm : 517
[9]. Paulo
Freire. 1999. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebsan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.. hlm : 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar