Senin, 27 Agustus 2012

Perempuan Muslim Dan Gerakan Kesetaraan Gender di Indonesia

Luki Fidiantoro

A. Modernitas dan Hak Perempuan
Krisis modernitas yang melanda kelompok-kelompok masyarakat Islam secara umum, dan yang menyangkut masalah hak-hak perempuan Muslim secara khusus telah menyebabkan sejumlah orang meragukan apakah agama Islam telah ketinggalan zaman?[1] Pada kenyataannya al-Qur’an juga diwahyukan kepada orang yang tidak pandai membaca dan menulis. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah wahyu ini bisa tetap relevan sesuai dengan perkembangan jaman termasuk juga didalamnya tentang “konsep jender”?
            Artikel ini bermaksud menunjukkan bahwa al-Qur’an bukan ketinggalan jaman, tetapi bahkan al-Qur’an pada kenyataanya sangat sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia abad ke-21 termasuk tentang persamaan hak dan kewajiban manusia baik itu laki-laki maupun perempuan, serta berkaca melalui kedudukan perempuan di Indonesia. Istilah “gender” secara leksikal berarti jenis kelamin (perempuan dan laki-laki). Dalam analisa sosial lebih dimaksudkan untuk melihat perbedaan bukan dari biologisnya, melainkan ketidakadilan yang diciptakan oleh sejarah proses sosial, seperti pendapat Siti qomariyah ”menyadari bahwa subordinasi perempuan terhadap laki-laki itu bukan sesuatu yang alami, melainkan karena sebuah proses sosial.
            Perempuan sering kali ditempatkan oleh masyarakat dalam posisi kedua. Sebagian masyarakat yang memberikan status kepada perempuan ini, mengklaim berdasar atas wahyu yang diterima yang salah satu dasarnya bertendensi pada teks-teks injil. Kelompok ini terinspirasi abad pertengahan terhadap penciptaan Adam dan Hawa sebagaimana secara terperinci dalam Kitab Kejadian 2: 4-3 ; 24[2].
     “Tuhan melarang keduanya memakan buah dari pohon terlarang. Setan menggoda     hawa untuk memakan buah dari pohon itu, dan Hawa, akibatnya merayu Adam untuk memakannya secara bersama dengannya. Ketika Tuhan mengingatkan atas apa yang telah dilakukan, Adam menumpahkan kesalahan pada Hawa. Tuhan Kemudian berkata : “Aku akan benar-benar meningkatkan rasa sakitmu dalam mengandung anak, dengan rasa sakitmumelahirkan anak-anak. Hasratmu adalah untuk suamimdan ia akan memerintah atasmu”.
            Tidak hanya injil saja yang menyatakan hal tersebut, Dalam pandangan agama Yahudi terhadap perempuan juga ada diskriminasi, diantaranya yang tertulis dalam kitab Imamat Fasal III ayat 5. “Seorang ibu yang melahirkan bayi perempuan dianggap perempuan ajis selama 2 minggu, sedangkan bila melahirkan bayi laki-laki dianggap najis selama 7 hari[3]. Dan juga dalam kitab Epesus V ayat 22-24 yang menyatakan sorang istri harus tunduk kepada suaminya seperti tunduk seorang hamba kepada Tuhan.
            Dalam memandang masalah perempuan pada dasarnya terkait dengan realitas serta persepsi masyarakat itu sendiri yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam keadaan tertentu dengan hak-hak dan kewajiban tertentu. Realitas tersebut juga ditentukan oleh  nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks ini, agama dengan sendirinya merupakan salah satu factor yang sangat menentukan terhadap realitas hubungan perempuan dan laki-laki. Dengan demikian sebenarnya, agama diharapkan bukan saja sekedar ideology tetapi sebagai sebuah system kebudayaan, karena masyarakat mempunyai berbagai masalah sosial.[4] In different phase of Islamisation, women’s employment was determined by the interaction between economic and ideological forces and most importenly by women.s various responses to these forces[5].
            Dalam Islam, tidak pernah dibedakan baik status, kedudukan, hukum serta kwajiban dan tanggungjawabnya yang sama dihadapan Alloh. Tapi dalam praktiknya khususnya di Indonesia sendiri yang mayoritas beragama Islam tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan ajaran Islam terkait kedudukan perempuan. Salah satu ayat al-Qur’an  yang sering digunakan untuk menomorduakan adalah surat An-nisa ayat 34. Apabila diterjemahkan berarti : “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah meleihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dank arena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.[6]
            Pemahaman tentang terjemahan ayat diatas tersebut dapat dipahami secara gramatika dari bagian-bagiannya. Dalam ayat tersebut ada kata bi-ma. Diantara makna “bi” yang paling utama adalah (a) sebuah makna yang menunjukkan sebab akibat;(b) menunjukkan adanya sifat kondisional; (c) menandakan adanya kuantitas bagian yang lebih kcil dari keseluruhan. Sedangkan makna kata “ma” disini adalah murni sebagai penghubung meskipun kadang kala memiliki makna yang lebih sekedar itu. Dia diapkai untuk merujuk pada suatu objek yang tidak tertentu.  Jadi makna kritis dari  kata “bi-ma” berarti : (a)”karena”; (b) “dalam keadaan dimana”; (c) “dalam hal mana”, suatu makna yang mengindikasikan suatu bagian, bukan secara keseluruhan[7].
            Dengan memasukkan hasil terjemahan kritis kata diatas maka ayat tersebut dapat dibaca :”Kaum laki-laki adalah (penasehat/pembimbing) bagi perempuan (karena/ dalam keadaan dimana/dalam hal mana) Tuhan telah membuat mereka berbeda dari yang lainnya dan (karena/ dalam keadaan dimana/ dalam hal mana) mereka membelanjakan uang mereka…”
            Beberapa persoalan tadi menurut Khoiruddin Nasuiton menyebabkan minimnya hak-hak dan peran wanita. Khoiruddin menyatakan sebab-sebab minimnya hak dan peran wanita diantaranya[8] :
  1. Penggunaan studi Islam yang parsial
  2. Belum adanya kesadaran bahwa nash dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (a) nash normative-universal, dan (b) praktis-temporal.
  3. Ada sejumlah nash yang harus dipahami lebih mendalam karena jika tidak terkesan meminimalkan hak-hak perempuan.


B. Penciptaan Perempuan
Kejadian penciptaan perempuan dan laki-laki tidaklah berbeda. Dalam surat An Nisa ayat 1 Menayatakan : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak. Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan. Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih (dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang berbunyi: Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).
Benar ada hadis yang berbunyi demikian dan yang dipahami secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut. Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II:21) dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim."
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana.[9] Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Memahami hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir.
C. Hak-hak Perempuan
1. Hak-hak Perempuan dalam Bidang Politik
Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam surah At-Tawbah ayat 71: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar.
Kata awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan[10].
Kepentingan (urusan) kaum Muslim mencakup banyak sisi yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang kehidupan politik. Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya.
Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS 42:38). Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.
Syura (musyawarah) telah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat --termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali. Al-Quran juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan bay'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis[11]. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan 'Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a. Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.
2. Hak-hak Perempuan dalam Memilih Pekerjaan
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya[12]. Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut".
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-'Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim.
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa "setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain". Atas dasar kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih, bukan sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat kita jika kita menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang.
3. Hak dan Kewajiban Belajar
Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar, Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan... Keistimewaan manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34). Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar.
Para perempuan di zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw. Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa, Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan..." (QS 3:195). Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing[13].
Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw.: Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira' (Aisyah). Demikian juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi'i200 (tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya.
Imam Abu Hayyan mencatat tiga nama perempuan yang menjadi guru-guru tokoh mazhab tersebut, yaitu Mu'nisat Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik Al-Adil saudara Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan Abdul-Latif Al-Baghdadi. Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat adalah Al-Khansa', Rabi'ah Al-Adawiyah, dan lain-lain. Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa mereka, sebagaimana sabda Rasul SAW., adalah Syaqa'iq Al-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama[14]. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 4:32).
D. Gerakan Kesetaraan Jender di Indonesia
            Ketika kita membicarakan tingkatan kemandirian organisasi kesetaraan jender di Indonesia khususnya mepunyai 3 tingkatan yaitu : mandiri dalam arti seluruhnya, semi otonom, dan masih tergantung terhadap organisasi lain. Yang dimaksud mandiri dalam arti seluruhnya adalah bahwa organisasi tersebut mandiri yang tidak mempunyai hubungan atau keterikatan dengan organisasi baik yang dibentuk oleh kaum laki-laki ataupun pemerintah. Sedangkan untuk yang semi otonom berarti  masih menjadi bagian dari organisasi kaum laki-laki pada waktu didirikannya, tetapi untuk programnya untuk kepentingan kaum perempuan tersebut. Organisasi perempuan yang tergantung/belum mandiri dimaksudkan adalah organisasi tersebut tidak punya otonomi tentang visi dan program mereka[15].
 Menurut Wierenga yang organisasi-organiasi perempuan dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan dari pendirian dan tujuan dari gerakannya, yaitu  organisasi oleh perempuan dan organisasi untuk perempuan. “Organization of women (independent organizations) are formed a process of self-mobilization in wich women’s emancipation may be the one of the aim. Organizations for women (dependent organization) areusually set up by others actors who want to mobilize women for purpose of their own[16].
Disamping dua tipe tadi, menurut Doom-harder organisasi-organisasi perempuan pada abad ke-20 dapat dibedakan lagi berdasarkan dasar dari pendirian atau ideology gerakannya yaitu : secular nasionalis dan religius nasionalis. Menuurt Doom harder , “a religius organizations is an organization based on certain religious beliefs and thought, while a secular organization is an organization that has a neutral religious affiliation and states that is separate from religion[17]. Jadi secara garis besar ada beberapa tipe dari organisasi-organisasi perempuan dan kesetaraan jende di Indonesia menurut ideology dan proses pendiriannya. Berdasarkan proses pendirian dan Ideologi tersebut maka bisa dilihat gerakan-gerakan yang dilakukan organisasi tersebut.
Berdasarkan sejarah Indonesia, sejak merdeka pemerintah Indoensia dibagi menjadi tiga orde yaitu : 1 Orde lama, 2 orde baru, 3 reformasi. Perbedaan rezim tersebut berdampak juga kepada perbedaan intervensi terhadap gerakan organisasi perempuan, dan dasar ideology. Pada masa orde lama, karena baru saja merdeka pemerintah tidak terlalu memperhatikan isu-isu permasalahan perempuan karena masih mempersiankan pembangunan nasional dalam mengisi kemerdekaan. Perbedaan kontras ditunjukkan pada masa orde baru, perhatian lebih banyak diberikan oleh pemerintah organisasi-organisasi perempuan karena digunakan untuk memobilisasi perempuan yang bertujuan mendukung jalannya pemerintahan orde baru, misalnya dharma wanita.
Organisasi dharma wanita beranggotakan istri-istri yang suaminya bekerja sebagai pegawai negeri sipil.[18] Pada orde baru banyak kaum perempuan-perempuan yang menjadi pendukung bukan sebagai pemimpin untuk membantu program pemerintah orde baru. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan dari Julia. J. Suryakusuma tentang program PKK dan dharma wanita mrupakan bagian dari kebijakan pemerintah yaitu “..fails to recognize many aspect of rural life. It does not acknowledge, the large number of female-headed household, the autonomy of women as widows, divorcess and single mothers, but primarily sees women as dependents of men, when in act the dependency is to two way. It does no acknowledge sufficiently that women need jobs, just as much, as and perhaps even more than, men”.[19]
Sejak era reformasi tahun 1998 paradigma dan pandangan mengenai permpuan mulai berubah. Baik dari aktivitas di rumah, bekerja, dan dimasyarakat yang terkait dengan perempuan. Dalam instruksi presiden no. 9/2000 tentang konsep jender dalam pembangaunan nasional dinyatakan bahwa Konsep kesetaraan jender yang unsurnya adalah laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Aplikasi dari intruksi tersebut laki-laki dan perempuan mempunyai hal yang sama untuk menjadi angkatan bersenjata, polisi, menteri, kepala daerah, atau jabatan pemerintah lainnya.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Azizah al-Hibri. 2001.Landasan Qur’ani mengenai hak-hak perempuan Muslim abad ke-21.dalam H.M. Atho Mudzhar,dkk.(ed), Wanita Dalam Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press.

Ali Husain al-hakim. 2005.Status dan Komplementaritas 2 Gender. In Ali Husain al-hakim,et.al Islam and Feminism : Theory, Modelling, and Applications. Diterjemahkan oleh  A.H. Jemala Gembala, Membela Permpuan Menakar Feminisme Dengan Nalar Agama. Jakarta : Al-Huda. 2005

Abdullah A.Djawas, Dilema wanita karir:menuju keluarga sakinah. Yogya : Ababil. 1996. hlm 13-16

Faiqoh. 2001. Wanita Dalam Kultur Indonesia, dalam H.M. Atho Mudzhar,dkk.(ed), Wanita Dalam Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press.

Anne Sofie Roald.2000 Islam, Gender, and Sosial Change. The American Journal of Islamic Sosial sciences. Vol 17, no. 2.

.
Dr. khoiruddin Nasution, M.A. 2004. Minimnya Jaminan Hak dan Peran Wanita serta upaya Maksimalisasi. Yogyakarta : jurnal Asy-Syir’ah vol. 38, No.1.

Agus Moh. Najib Penciptaan Perempuan dari Tulang Rusuk laki-laki?. dalam Hamim Ilyas,dkk , Perempuan Tertindas. Yogyakarta : elSaq Press & PSW.

Dr. M. Quraish Shihab, MEMBUMIKAN AL-QURAN.1996 Bandung : Penerbit Mizan,

Anne Sofie Roald.2000.  Islam, Gender, and Sosial Change. The American Journal of Islamic Sosial sciences. Vol 17, no. 2

Maryam Poya. 2001.Women, work, and Islamism : ideology and resistance. Journal Of Islamic Studies vol 12 no 2 may.

Ajmand Ahmad.2003. Fiqh, Women and Human Rights : Competing Methodologis. Journal Studia Islamika vol 10. no. 1.
Ahmad Nur Fuad. 2007. Islam and Right in Indonesia: an Account of Muslim Intellectual’s views.Yogyakarta : Al-Jami’ah vol 456, No2,

Alimatul Qibtiyah. 2009Indonesian Muslim Women’s and The Gender Equality Movement.. Surabaya :  Juornal Of Indonesian Islam volume 3, No.1, June




[1].  Azizah al-Hibri. Landasan Qur’ani mengenai hak-hak perempuan Muslim abad ke-21.dalam H.M. Atho Mudzhar,dkk.(ed), Wanita Dalam Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press. 2001 Hlm 4
[2] .  Ali Husain al-hakim. Status dan Komplementaritas 2 Gender. In Ali Husain al-hakim,et.al Islam and Feminism : Theory, Modelling, and Applications. Diterjemahkan oleh  A.H. Jemala Gembala, Membela Permpuan Menakar Feminisme Dengan Nalar Agama. Jakarta : Al-Huda. 2005 Hlm : 54
[3] . Abdullah A.Djawas, Dilema wanita karir:menuju keluarga sakinah. Yogya : Ababil. 1996. hlm 13-16
[4] . Faiqoh. Wanita Dalam Kultur Indonesia, dalam H.M. Atho Mudzhar,dkk.(ed), Wanita Dalam Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press. 2001Hlm 258.
[5]. Anne Sofie Roald. Islam, Gender, and Sosial Change. The American Journal of Islamic Sosial sciences. Vol 17, no. 2, tahun 2000 hlm : 133.

[6] . Q.S . An-Nisa : 34.
[7]. Azizah al-Hibri. Landasan Qur’ani mengenai hak-hak perempuan Muslim abad ke-21.dalam H.M. Atho Mudzhar,dkk.(ed), Wanita Dalam Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press. 2001 Hlm 26.
[8]. Dr. khoiruddin Nasution, M.A. 2004. Minimnya Jaminan Hak dan Peran Wanita serta upaya Maksimalisasi. Yogyakarta : jurnal Asy-Syir’ah vol. 38, No.1.Hlm : 4.
[9]. Agus Moh. Najib Penciptaan Perempuan dari Tulang Rusuk laki-laki?. dalam Hamim Ilyas,dkk (ed) , Perempuan Tertindas. Yogyakarta : elSaq Press & PSW. Hlm:3-4.
[10] .  Dr. M. Quraish Shihab, MEMBUMIKAN AL-QURAN.1996 Bandung : Penerbit Mizan.
[11]. Anne Sofie Roald.2000.  Islam, Gender, and Sosial Change. The American Journal of Islamic Sosial sciences. Vol 17, no. 2, hlm : 133.
[12]. Maryam Poya. 2001.Women, work, and Islamism : ideology and resistance. Journal Of Islamic Studies vol 12 no 2 may..hlm : 239.
[13]. Ajmand Ahmad.2003. Fiqh, Women and Human Rights : Competing Methodologis. Journal Studia Islamika vol 10. no. 1. hlm : 124
[14]. Ahmad Nur Fuad.2007. Islam and Right in Indonesia: an Account of Muslim Intellectual’s views.Yogyakarta : Al-Jami’ah vol 456, No2. hlm 241.
[15].  Alimatul Qibtiyah.2009. Indonesian Muslim Women’s and The Gender Equality Movement.. Surabaya :  Juornal Of Indonesian Islam volume 3, No.1, June. hlm 170.
[16]. Loc.cit
[17]. Ibid. hlm 181
[18]. Ibid. 187
[19]. Ibid. 188

Senin, 20 Agustus 2012


PERSEKOLAHAN SEBUAH PENDIDIKAN DILMATIS
Luki Fidiantoro

Selama beberapa generasi, kita telah berusaha menajadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik dengan cara menyediakan makin banyak persekolahan. Tapi sejauh ini kandas. Yang kita dapatkan dari sana hanya pelajaran bahwa, memaksa semua anak untuk memanjat tangga pendidikan yang tak berujung dan takkan meningkatkan mutu” [1]. Hal tersebut adalah pernyataan dari pemerhati pendidikan yaitu Ivan illich, seorang Pastor dari Austria yang kecewa terhadap sekolah-sekolah saat ini. Menurutnya jua bahwa pengajaran yang diwajibkan sekolah hanya membunuh banyak orang untuk belajar secara mandiri dan menjadikan pengetahuan sebagai komoditas yang dikemas serta hal langka dipasaran. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
            Untuk melihat wajah Indonesia marilah kita lihat komentar para tokoh pemerhati pendidikan. Prof. Ahmad Syafi’I Ma’arif pernah berkomentar bahwa “pendidikan di Indonesia sudah sangat kronis. Baik kronis dari segi parahnya penyakit yang di derita, maupun kronis dari segi lamanya penanganan, yang seperti sudah tidak memberi harapan lagi untuk sembuh. Wajah pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari harapan, bahkan jauh tertinggal dengan negara-negara lain”[2].
Untuk melihat benar tidaknya pernyataan seorang tokoh nasionalis tadi,  maka kita bisa lihat hasil survey dari lembaga-lembaga kredibel tentang pendidikan di Indonesia. Menurut data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke- 105 (1998), dan ke-109 (1999)[3].
Tidak jauh beda dengan data diatas, laporan The Internasional Baccalaureate Organization (IBO) – yaitu lembaga yang didirikan  tahun 1956, berpusat di Switzerland (administrasi) dan Inggris (riset, kurikulum, dan asesmen) ternyata berkesimpulan bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan. Menurut IBO pada tahun 2003, dari 146.052 SD di Indonesia, ternyata hanya delapan sekolah saja yang dapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program(PYP).  Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam Kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP)[4].
Senada dengan Prof. Syafi’I ma’arif, Dody Heriawan Priatmoko memberikan penilaian yang lebih terperinci, menurutnya paling tidak ada 3  permasalahan pendidikan yang saat ini tengah merundung negeri Indonesia, yaitu :
1.      Kurangnya pemerataaan kesempatan pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Dirjen Binbaga Departemen Agama menunjukkan Angka Partisipasi murni (APM) untuk anak usia SD hanya mencapai 94,4% (28,3 juta sisiwa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. APM untuk pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54,8% (9.4 juta siswa). Sementara itu layanan PAUD masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan SDM secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatas maslah ketidakmerataan tersebut.
2.      Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan. hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Menurut data Balitbang Depdiknas, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki ketrampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan sendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap ketrampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
3.      Rendahnya mutu pendidikan. Indikator rendahnya mutu pendidikan Nasional dapat dilihat pada presasi siswa. Dalam skala internasional, menururt Laporan Bank Dunia (Greaney,1992) studi IEA (Internasional Association for The Evaluation of Educational Achevement) di Asia timur menunjukkan bahwa ketrampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada tingkat terndah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD:75,5 (hongkong), 74,0 (singapura), 65,1 ( Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit seklai menjawab soal-soal yang berbentuk uraian yangmemerlukan penalanran. Hal ini menunjukkan kemungkinan karena mereka terbisaa menghafal dan mengerjakan soal-soal pilihan ganda. Selain itu , Hasil Study The Third International Mathematic and Science Study Repeat_Timss_R, 1999 (IEA, 1999)memperlihatkan bahwa diantara 38 negara peserta , prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berda pada urutan ke-32 untuk IPA , ke-34 untuk matematika.
Lebih mengerikan lagi survey dari lulusan perguruan tinggi di Indonesia semakin banyak yang menganggur. Tahun 2000 jumlah penganggur sarjana lulusan universitas 277.000 orang (akademi: 184.000), tahun 2001: 289.000 (252.000), 2002: 270.000 (250.000), dan 2003: 245.000 (200.000), 2004: 348.000 (237.000), dan 2005: 385.418 (322.836). Lebih dramatis lagi, data BPS terbaru yang disiarkan Kompas (Kompas 22/8/2008) menyebutkan bahwa hingga Februari 2008 terdapat tak kurang dari 4.516.100 penganggur terdidik, atau lebih dari 50% jumlah total penganggur yang mencapai 9.427.600
Lalu apakah makna pendidikan sekarang?. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, 1991:232, Pendidikan berasal dari kata "didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendidikan sudah tidak sejalan dengan persekolahan? Apakah ada lembaga alternative yang lebih layak dari persekolahan untuk pendidikan?
"Tak kurang dua belas tahun waktu diselesaikan untuk bersekolah. Masa yang relatif panjang dan menjemukan, jika sekedar mengisinya dengan duduk, mencatat, sesekali bermain dan yang penting mendengarkan guru ceramah di depan meja kelas. Lewat sekolah orang bisa meraih jabatan sekaligus mendapat cemooh. Ringkasnya sekolah mampu mencetak manusia menjadi pejabat tapi juga penjahat. Masih pantaskah sekolah untuk mengakui peran tunggalnya dalam mencerdaskan seseorang"[5].
Adolf Hitler yang sangat kejam dahulunya adalah murid yang rajin, kalau ulangan tak pernah curang dan hampir selalu mendapat nilai A. Dia senang menggambar, tak banyak bicara, tak pernah bikin ulah. Satu-satunya yang menjadi keluhan para gurunya adalah dia terlalu berbakat menjadi pelamun dan pemimpi. Hampir seluruh orang khawatir kalau-kalu ia menjadi penyair. Namun orang-orang menjadi lega ketika Adolf Hitler memilih menjadi tentara. Namun ternyata dikemudian hari dunia ternganga menghadapi kenytaan Adolf yang sangat berbeda: dan banyak yangmemilih lebik baik ia menjadi penyair yang berpuisi jelek daripada pemimpi bersenjata. Yang menjadi pertanyaan seberapa andil para guru Adolf? Bukankah pendidikan khususnya persekolahan bisa dipakai sebagai jimat untuk meramal masa depan si terdidik?[6]
Lembaga pendidikan yang dalam arti luas mencakup masyarakat dan segala bentuk kesosialan, selamanya berusaha membuat rute yang pasti, atau setidaknya diniatkan agar pasti hingga rancangan masa depan tiap murid agak terbayang. Sama-sama tak lulus SMU, Henry Ford menjadi juragan mobil, Alpacino mendapat Oscar, Frank Sinatra menyanyi sampai tua, dan Tito menjadi bapak Yugoslavia[7]. Lalu bagaimana dengan lulusan SMU di Indonesia? Mari kita coba renungkan bersama.
Agar dapat mencermati segala pilihan secara jernih, kita harus membedakan  antara pendidikan dengan persekolahan. Artinya kita harus memisahkan niat kemanusiaan seorang guru dan murid dengan niat persekolahan (bukan berarti gedung tapi lembaga) didirikan. Selama ini dalam masyarakat yang terbangun adalah pemikiran bahwa individu tak bisa menyiapkan diri untuk hidup kecuali lewat persekolahan. Apa yang dipelajari di luar sekolah tak layak diketahui yang berarti kecil nilainya atau sama sekali tidak bernilai. Dari sini kita melihat bahwa pemikiran diatas menerjemahkan belajar disekolah menjadi sebuah komoditas, dimana sekolah memonopoli pasar. Tak jadi soal apakah kurikulumnya dirancang untuk menanamkan prinsip-prinsip fasisme, liberlisme, Sosialisme, atau isme-isme yang lain[8].
Jika memang tetap sekolah yang akan dijadikan satu-satunya alat untuk mencerdaskan seseorang, maka sistem pendidikan yang terjadi harus diubah. Upaya memperbaiki pendidikan (khususnya pendidikan dasar) di Indonesia kiranya perlu mempertimbangkan prinsip- prinsip pokok yang melandasi terbentuknya sistem pendidikan nasional. Ketiga prinsip dasar tersebut adalah pemerataan, kemandirian dan integrasi. Bagaimanapun juga jika sistemnya masih sama paling tidak kita bisa lehat gambaran tentang produk-produk sekolah saat ini, dimana orang yang melakukan korupsi malah menimpa orang-orang yang berpendidikan tinggi bahkan ilmunya sangat top.
Pemerataan pendidikan bisa dikatakan sebagai solusi. Untuk solusi alternative ini sudah tidak menjadi permasalahan. Sedikit demi sedikit seklah mulai terbangun walupun belum mencukupi semua. Akan tetapi permasalahan dalam akses pemerataan bukan hanya bangunan sekolah, akan tetapi akses keterjangkauannya baik termasuk di dalamnya keterjangkuannya biayanya. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pendidikan membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Jadi banyak anak yang putus sekolah bukan karena niatnya, tapi keadaan yang menyudutkannya untuk tidak meneruskan.Subsidi saat ini masih dianggap kurang karena masih terlihat anak-anak yang bekerja untuk membantu orang tuanya.
Untuk solusi selanjutnya adalah kemandirian. Ada kata-kata bijak untuk menggambarkan solusi ini yaitu “ Menyuruh anak belajar berhitung memang lebih penting, akan tetapi lebih penting lagi menyuruh anak-anak untuk memperhitungkan jlan hidupnya”. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sekolah kita hanya mengajarkan sebatas “tau’, bukan pada tahap ‘mau’ apalagi ‘mampu’. Misalnya saja pelajaran bahasa Inggris. Rata-rata sekolah di Indonesia tidak mempraktikkan bahasa tersebut, sehingga ketika lulus pun tidak menghasilkan apa-apa. Sejak SD sampai SMA saat ini sudah dikenalkan dengan bahasa tersebut, akan tetapi setelah lulus pun kita tidak bisa berbicara dengan lancer menggunakan ahasa Inggris. Dari situ ada hikmah yang bisa diambil “praktik lebih penting dari teori”. Soekarno bisa lancer bicara Belanda, H.Agus Salim bisa lancar tiga bahasa, walau padamasa itu akses belajar sangat sulit. Secara filoofis tanggungjawab guru yang menmpatkan diri sebagai teman dialog siswa lebih besar, dari pada guru yang memindahkan informasi yang diingat siswa[9].
Kita tidak bisa lagi menerapkan system pendidikan yang mirip bank. Pendidikan Itu harus membebaskan karena manusia adalah makhluk independen (memiliki naluri, kesadaran, keterbatasan), serta fitrahnya manusia adalah sebagai subjek bukan objek. Objektivitas pada pengertian si tertindas bisa jadi subyektifitas si penindas, begitu juga sebaliknya. "kaum Tertindas" harus memerdekakan dan membebaskan diri mereka sendiri dari penindasan yang tidak manusiawi sekaligus membebaskan kaum penindas dari penjara hati. Pendidikan sering kali mirip dengan model bank. Depositor dan investor nya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyrakatan. Deposito berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan, dan anak didik sebagai bejana kosong (buku tabungan). Pendidikan gaya bank dapat dilihat seperti :
a. Guru mengajar, murid Belajar (tidak mengetahui apa-apa)
b. Guru tahu segalanya, sedangkan murid tidak tau sama sekali.
c. Guru berpikir, murid dipikirkan.
d. Guru bicara, murid mendengarkan.
e. Guru mengatur, murid diatur.
f. Guu memilih dan memaksa , murid menurut.
Selanjutanya adalah integrasi atau penyatuan, yaitu melihat apa yang dibutuhkan di dunia kerja dengan kurikulum sekolah. Tidak bisadipungkiri lagi bahwa saat ini banyak yang yakin lagi, dengan bersekolah akan mudah mendapat pekerjaan. Karena ketika anak mereka disekolahkan malah menjadi tidak bisa apa-apa entah karena memang ilmunya tidak diterpkan atau kah yang diajarkan dan dipelajari tidak sama dengan kenyataanya.
Integrasi ini bisa dilakukan pada kurikulum tersembunyi. Selain itu integrasi juga bisa dimasukkan dalam penilaian selain pengetahuan, maka perilaku dan keterampilan bisa menjadi indicator untuk kenaikan kelas. Sudah sangat jarang yang penulis lihat sekarang bahwa disekolah tidak ada yang tidak naik kelas saat terima raport, akan tetapi ketika penulis bersekolah dulu hampir selalu ada. Akan tetapi gambaran berbeda diperlihatkan saat ujian kelulusan di mana sangat sedikit yang tidak lulus dalam Ujian Akhir Nasional. Tapi yang menjadi pertanyaan kenapa setelah berhadapan dengan dunia nyata malah tidak bisa memperlihatkan ilmunya. Lulusan perguruan tinggi juga hampir sama saja.
Bukankah kita sudah diajarkan membaca dan menulis, tetapi kenapa karya buku anak negeri masih sangat sedikit? Buktinya sampai saat ini jumlah buku baru yang diterbitkan secara nasional hanya 0,00009 persen dari total penduduk. Artinya, hanya sembilan judul buku baru untuk setiap sejuta penduduk. Padahal rata-rata negara berkembang mencapai 55 persen per satu juta penduduk. Sedangkan negara maju memiliki rata-rata 513 judul buku per satu juta penduduk (Daniel Dhakidae dalam Agus M. Irkham, Kompas, 17-2-2006). Jepang yang terkenal dengan kepeduliannya akan karya tulis ilmiah, tidak kurang dari 100.000 judul buku per tahun berhasil diterbitkan. Sedangkan India yang notabene negara sedang berkembang berhasil menerbitkan setidaknya 60.000 judul per tahun. Jika solusi-solusi tadi bukan hanya sebatas awing-awang bahkan bisa diterapkan paling tidak bisa membuat pendidikan kita lebih maju. Sebagai penutup tulisan ini saya kutip kata Romo Mangun, “memang guru-guru kami adalah seorang belanda, akan tetapi guru kami sangat konsisten, yang putih-itu putih, yang hitam-itu hitam, tidak seperti kebanyakan para pendidik saat ini”.
            Sumber-sumber Pustaka :
Ivan illich “alternative Schooling. Dalam Education Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .2006.

Dwi condro Triono. Makalah dengan judul Pendidikan Di Indonesia. hlm:2

M.Shidiq Al-Jawi. Makalah Pendidikan di Indonesia : Maasalah dan Solusinya. 2006, hlm :1

Paulo Freire,dkk. Education Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .2006. hlm viii

Paulo Freire. 1999. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebsan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.. hlm : 103            


Daniel Dhakidae dalam Agus M. Irkham, Kompas, 17-2-2006


[1] .Ivan illich “alternative Schooling. Dalam Education Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .2006. hlm : 517

[2] . Dwi condro Triono. Makalah dengan judul Pendidikan Di Indonesia. hlm:2

[3] . M.Shidiq Al-Jawi. Makalah Pendidikan di Indonesia : Maasalah dan Solusinya. 2006, hlm :1
[4]. Ibid. hlm 2
[5] . Ameliasari Tauresia Kesuma, SE. Sistem Pendidikan Indonesia Memprihatinkan. http://re-searchengines.com/0806ameliasari.html. diakses 19 Mei 2011.

[6] . Sebuah pengantar Dalam Education Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .2006. hlm viii

[7]. Ibid. hlm ix
[8]. Ivan illich Dalam Education Methode diterjemahkan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .2006. hlm : 517
[9]. Paulo Freire. 1999. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebsan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.. hlm : 103